Pencemaran Udara akibat transportasi di Jakarta

Lingkungan merupakan tempat dimana manusia melakukan aktifitas dan kegiatannya dan sebagai sarana dimana manusia berinteraksi dalam kehidupannya sehari-hari, manusia yang hidup dengan lingkungannya akan cenderung mengikuti trend lingkungannya dan beradaptasi dengan lingkungannya, atau bahkan tidak bias beradaptasi. Lingkungan yang ada disekitar kita menjadi beberapa bagian, antara lain adalah lingkungan fisik yang berhubungan dengan sumber daya alam, adapun sumber daya alam tersebut terbagi menjadi sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Sumber daya alam yang ada disekitar kita dapat disebut dengan the commons, the commons tersebut seperti hutan,sungai, danau, laut, udara dan lain-lainnya.

Pada beberapa commons yang disebutkan diatas tadi, saya tertarik dengan udara, karena sifat udara disini sangat primer sebagai kebutuhan manusia secara individu. Manusia tidak akan hidup bila tidak dapat menghirup udara, yaitu oksigen. Namun, pada kenyataannya udara memang memiliki beberapa kandungan dan unsur-unsur tertentu. Kandungan-kandungan udara yang biasa kita kenali adalah oksigen dan karbondioksida, oksigen adalah udara yang kita hirup untuk kelangsungan hidup manusia di dunia ini. Sedangkan karbondioksida adalah udara yang keluar dari tubuh kita, atau hasil dari pembakaran tubuh kita, dan udara tersebut akan dihirup oleh tumbuh-tumbuhan yang nantinya akan melakukan fotosintesis yang menghasilkan oksigen kembali.

Rantai pernapasan tersebut memperlihatkan bahwa kehidupan manusia sebagai mahluk sosial bukan hanya bergantung pada manusia yang lain, namun ternyata manusia memiliki ketergantungan pada lingkungannya juga, hal demikian dapat disebut dengan  sama-sama menguntungkan atau simbiosis mutualisme. Oleh karena itu, manusia yang hidup di dunia ini juga harus memperhatikan sumber daya alam yang ada disekitarnya. Antara lain adalah tanaman dan tumbuh-tumbuhan yang ada disekitar kita, karena dengan tumbuh-tumbuhan dan tanaman-lah yang memberikan oksigen kepada kita. Bahkan dapat membersihkan udara yang ada disekitar kita.

Oleh karena itu, melihat pentingnya udara bagi kehidupan manusia, saya mencoba mambuat tulisan tentang pencemaran udara yang ada di kota Jakarta. Dengan menggunakan metode progressive contextualization dalam melihat kasus pencemaran udara di Jakarta ini. Memang menarik kalau kita melihat tentang masalah lingkungan dengan metode progressive contextualization yang ditawarkan Vayda, dengan melihat tindakan-tindakan aktor-aktor yang terlibat dalam masalah pencemaran udara ini kita dapat mencari jawaban-jawaban yang dapat memecahkan permasalahan tersebut. Akan tetapi, jika saya melihat berbagai kejadian-kejadian yang telah berkembang saat ini, tingkat polusi udara akibat transportasi ini tidak berubah, tapi semakin bertambah dari masa ke masa.

Pada era modern ini kehidupan kota yang sudah penuh tampaknya memiliki beberapa permasalahan dengan udara, bahkan saat ini kejadian-kejadian tentang pencemaran udara sudah sangat sering terjadi. Pencemaran udara dapat diartikan berubahnya salah satu komposisi udara dari keadaan normalnya, dalam jumlah tertentu untuk jangka waktu yang cukup lama sehingga akan mengganggu kehidupan manusia, hewan, dan tanaman. Sejalan dengan perkembangan industri pada daerah perkotaan, kesetimbangan komposisi udara terganggu bahkan komposisinya berubah yaitu dengan masuknya zat-zat pencemar seperti polutan. Gas H2S merupakan salah satu polutan udara yang bersifat toksik (Manahan, 1994).  Pemanasan global dan efek rumah kaca (ERK) semakin dibicarakan oleh para ahli. Pada kesempatan ini, sebagai seorang antropolog yang melihat permasalahan ekologi, saya mencoba melihat kasus pencemaran udara yang ada di Jakarta akibat transportasi ini dengan melihat sebab-sebab apa saja, sehingga terjadi pencemaran tersebut. Sebab yang akan saya lihat pada kesempatan ini adalah sebab pencemaran udara dari transportasi. Pada umumnya terdapat dua sumber pencemaran udara yang terjadi, antara lain adalah pencemaran udara yang terjadi akibat sumber yang alami atau dari sumber daya alam (natural resources), seperti pencemaran akibat letusan gunung berapi, kemudian gempa dan lain-lain. Kemudian adalah pencemaran udara yang terjadi akibat kegiatan manusia, dan disebabkan secara langsung oleh manusia (anthropogenic sources), antara lain adalah emisi pabrik dan akibat dari sumber-sumber kegiatan manusia, seperti dari transportasi.

Transportasi sebagai sarana dan fasilitas yang diciptakan oleh teknologi masa kini ternyata menambah permasalahan dalam pencemaran udara. Namun, apakah kesalahan pencemaran udara dilimpahkan begitu saja kepada pengguna atau pembuat teknologi tersebut?, tidak juga seperti itu, karena kuantitas transportasi dan juga kualitasnya juga perlu diperhatikan, bahkan kebijakan-kebijakan pemerintah tentang transportasi juga perlu diperhatikan. “Pada masa sekarang ini, pencemaran udara di Indonesia 70%nya diakibatkan oleh emisi kendaraan bermotor, karena kendaraan bermotor memiliki zat-zat yang berbahaya bagi udara disekitar kita, antara lain adalah timbal/timah hitam (Pb), suspended particulate matter (SPM), oksida nitrogen (NOx), hidrokarbon (HC), karbon monoksida (CO), dan oksida fotokimia (Ox)”.

Kutipan diatas merupakan pernyataan yang menunjukkan bahwa keadaan udara yang ada disekitar kita khususnya di Jakarta memang sudah terkontaminasi dengan zat-zat seperti Suspended Particulate Matter (SPM), yang menyumbang banyak timbal/timah hitam pada udara disekitar kita, dan masih ada zat-zat lainnya seperti hydrocarbon (HC), karbonmonoksida(CO) dan oksida fotokimia (Ox), seperti tertera pada kutipan diatas tersebut. Sedangkan sebagai manusia kita seharusnya tidak menghirup udara-udara tersebut. Akan tetapi dalam melihat hal ini menggunakan kacamata Contextualization Progressive Vayda saya melihat adanya hal-hal lain yang merupakan sebab-sebab pencemaran udara akibat transportasi. Kendaraan bermotor merupakan salah satu sumber pencemaran udara yang utama di daerah perkotaan. Emisi yang paling signifikan dari kendaraan bermotor ke atmosfer berdasarkan massa adalah gas karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O) yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar yang berlangsung sempurna. Pembakaran yang sempurna dapat dicapai dengan tersedianya suplai udara yang berlebih. Namun demikian, kondisi pembakaran yang sempurna dalam mesin kendaraan jarang terjadi.

Sebagian kecil dari bahan bakar dioksidasi menjadi karbon monoksida (CO). Sebagian hidrokarbon (HC) juga diemisikan dalam bentuk uap dan partikel karbon dari butiranbutiran sisa pembakaran bahan bakar. Hampir semua bahan bakar mengandung zat-zat ‘kotoran’ dengan kemungkinan pengecualian bahan bakar sel (hidrogen) dan hidrokarbon ringan seperti metana. Diantara zat-zat kotoran tersebut adalah sulfur yang dioksidasi menjadi sulfur dioksida (SO2) pada proses pembakaran, dan kadang menjadi sulfat yang dapat membantu proses nukleisasi partikel (pembentukan partikel) dalam gas buang. Zat-zat kotoran lainnya seperti vanadium dalam oli tidak dapat terbakar, atau mengandung produk pembakaran yang memiliki tekanan uap yang rendah sehingga mendorong pembentukan partikel lebih jauh. Senyawa-senyawa timbel organik (dalam bensin bertimbel) juga membentuk partikel dalam gas buang. Pada akhirnya, pada temperatur pembakaran yang tinggi, gas nitrogen (N2) di dalam atmosfer dan senyawa nitrogen yang dikandung dalam bahan baker dioksidasi menjadi oksida nitrit (NO) dan nitrogen-dioksida (NO2).

Kondisi emisi kendaraan bermotor sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan bakar dan kondisi pembakaran dalam mesin; sehingga langkah-langkah untuk mengurangi emisi gas buang harus mengkombinasikan teknologi pengendalian dengan konservasi energi dan teknik-teknik pencegahan pencemaran. Pengalaman dari negara-negara maju menunjukkan bahwa emisi zat-zat pencemar udara dari sumber transportasi dapat dikurangi secara substansial dengan penerapan teknologi kendaraan seperti katalis (three-way catalyst) dan juga pengendalian manajemen lalu lintas setempat. Namun, untuk kondisi Indonesia, dengan pertumbuhan perkotaan yang cepat yang meningkatkan kepemilikan dan penggunaan kendaraan bermotor di daerah perkotaan perlu terus dilakukan upaya mengurangi emisi kendaraan bermotor. Dalam beberapa tahun terakhir jumlah kendaraan bermotor bertambah rata-rata 12% per tahun.

Pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia juga memicu terjadinya peningkatan polusi , namun hal seperti ini tampaknya menjadi rumit ketika melihat faktor produksi dalam pertumbuhan kendaraan bermotor. Jumlah pertumbuhan kendaraan bermotor ternyata merupakan tindakan yang dapat dilihat dengan progressive contextualization Vayda ketika ingin mendeskripsikan suatu pengrusakan lingkungan (terkait disini masalah pencemaran udara akibat transportasi) terbukti tidak terbatas hanya melihat aktor-aktor pengguna transportasi saja. Namun dapat melihat lebih luas bagaimana tindakan-tindakan tersebut dapat terjadi sehingga mengakibatkan dampak bahaya.  

kita dapat melihat bagaimana pertumbuhan kendaraan bermotor yang mengeluarkan emisi dan mencemarkan udara disekitar kita. Kalau saya memperhatikan tabel diatas, saya berasumsi bahwa terjadi peningkatan kuantitas kendaraan pada setiap tahunnya, maka jika dihitung sampai dengan sekarang jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke tahun hingga sekarang 2007 ini. Diperkirakan jumlahnya  bertambah 10 kali lipat dari tahun 1999.

 Sedangkan Kendaraan bermotor yang menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) mengandung timah hitam (Leaded) berperan sebagai penyumbang polusi cukup besar terhadap kualitas udara dan kesehatan. Kondisi tersebut diperparah oleh terjadinya krisis ekonomi yang melanda negara kita sejak tahun 1997.

Pada saat ini komposisi jumlah sepeda motor adalah yang terbesar, yaitu kurang lebih 73% dari jumlah seluruh kendaraan bermotor pada kurun waktu 2002-2003 (pertambahan sepeda motor mencapai 30% dalam 5 tahun terakhir). Perbandingan antara jumlah sepeda motor dan penduduk di Indonesia diperkirakan mencapai 1:8 pada tahun 2005. kendaraan bermotor dalam kurun waktu 20 tahun (1983-2003). Berdasarkan data statistik dan beberapa asumsi, diperkirakan pada tahun 2020 jumlah kendaraan bermotor akan mencapai 90 juta, atau lebih dari tiga kali jumlah kendaraan saat ini. Dari jumlah tersebut, lebih kurang 70% terdistribusi di daerah perkotaan. Walaupun diasumsikan bahwa reduksi emisi per kendaraan per kilometer akan dapat tercapai di masa mendatang sebagai hasil dari penerapan teknologinya.

 kendaraan bermotor dan angkutan sangat buruk akibat mahalnya suku cadang dan perawatan yang kurang baik sehingga proses pembakaran kurang sempurna, akibat krisi moneter yang terjadi di Indonesia, maka terjadilah ketidakteraturan produksi harga dan juga tingkat harga BBM yang tiba-tiba saja melonjak, ini semakin memperparah keadaan, sehingga kerusakan pada kendaraan akibat mahalnya suku cadang dan perawatan kendaraan terjadi banyak sekali dan ini mengakibatkan emisi gas buang yang berlebihan dan dampaknya adalah pencemaran udara yang semakin mengandung berbagai zat yang kotor dan berbahaya.

Pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta yang lebih tinggi dibanding kotakota lainnya telah mendorong perubahan gaya hidup sebagai akibat dari meningkatnya pendapatan dan daya beli masyarakat Kota Jakarta. Kepemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi meningkat, dan mengambil porsi transportasi jalan yang lebih besar dibanding moda transportasi lainnya. Seiring dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan layanan angkutan umum dan fasilitas angkutan tidak bermotor, perlu dilaksanakan kampanye untuk mengubah perilaku masyarakat.[8Tujuannya adalah masyarakat mengurangi perjalanan dengan menggunakan kendaraan pribadi dan mengalihkan sebagian perjalanannya dengan menggunakan angkutan umum dan kendaraan tidak bermotor. Hal tersebut dapat membantu pemerintah dalam melakukan kebijakan sistem transportasi yang lebih baik akan penggunaan transportasi yang lebih baik dari sistem transportasi yang diharapkan oleh masyarakat, untuk menuju kepada kegiatan transportasi yang diinginkan oleh kebanyakan orang di negeri ini, yaitu nyaman, bebas dari polusi, aman, sehat dan baik.

Dengan adanya kondisi yang tidak memungkinkan dari beberapa permasalahan pencemaran udara yang ada di sekitar kita, maka masalah sistem transportasi ini, saya melihat sebagai suatu hal yang mempengaruhi udara sebagai commons yang diungkapkan oleh Hardin dalam tulisannya Tragedy of the commons. Udara disini sebagai commons dirusak oleh beberapa kepentingan seperti pabrik-pabrik dan transportasi yang pada akhirnya menimbulkan beberapa tragedy pada suatu ladang besar. Masalah produksi kendaraan bermotor sebagai suatu alasan untuk memperbanyak demi mencari keuntungan merupakan tragedy yang tak terelakkan. Memang manusia sekarang semuanya telah mengetahui bahwa pengaruh polusi udara dapat menyebabkan pemanasan efek rumah kaca (ERK) yang akan menimbulkan pemanasan global atau (global warming), ini merupakan sebuah peringatan kepada industri dan kebijakan transportasi agar melihat kepada masalah udara disekitar mereka.

Dari berbagai sumber, saya mencoba menggambarkan bagaimana pencemaran udara itu terjadi disekitar kita, maksudnya adalah sebagai penekanan betapa pentingnya keadaan dan kondisi kerusakan udara yang ada di kota Jakarta

Berikut ini adalah gambaran bagaimana proses pencemaran udara yang ada di kota Jakarta.

 

http://s636.photobucket.com/albums/uu86/andrisky85/?action=view&current=polusi.gif  

Asap knalpot yang keluar dari Bus yang ada dalam gambar diatas menunjukkan bahwa kondisi kendaraan yang kurang baik dan tidak sesuai dengan kendaraan bermotor yang sewajarnya. Ini disebabkan dari mesin yang kurang perawatan dan kurang baik, sehingga mengakibatkan zat kotor yang keluar dari knalpot kendaraan seperti SPM (suspended particulate matter), Nox, dan zat kimia berbahaya yang lainnya mempengaruhi udara sekitar, kemudian perubahan udara tersebut mengakibatkan adanya perubahan suhu yang terjadi dalam kehidupan manusia.

Perspektif kritis Garret Hardin tentang Tragedy of Commons yang diungkapkannya ternyata terbukti melalui aktor-aktor pengguna sumber daya alam sebagai commons mereka yang selalu diharapkan dari commons tersebut, dalam konteks disini adalah pencemaran udara, yang menjadi bencana pembangunan akibat krisis ekologi yang berkepanjangan. Pembangunan transportasi yang terus dikembangkan menyusul dengan pembangunan pasar yang ada ternyata dapat mendorong terjadinya apa yang disebut dengan bencana pembangunan. Proses pembangunan yang ada di Indonesia dalam konteks transportasi, menimbulkan bencana pembangunan yang kemudian menjadi permasalahan ekologis, udara sebagai salah satunya commons yang open access menjadi berbahaya bagi orang-orang disekitarnya.  

Sebenarnya dalam melihat kasus pencemaran udara akibat transportasi, dapat juga dengan melihat pentingnya menterjemahkan ”pengetahuan” sebagai kebudayaan dari pengguna sumber daya tersebut. Misalnya dengan mengartikan ”culture” sebagai sebuah perangkat yang digunakan manusia-manusia yang ada disekitarnya dapat menjelaskan prilaku kita terhadap lingkungan kita. Penjelasan tentang pengetahuan normative manusia dalam menggunakan sumber daya alam juga saya tambahkan untuk menjelaskan konteks pencemaran udara yang ada di Jakarta ini, karena transportasi sebagai suatu dampak bukan satu-satunya yang disalahkan tapi penggunaannya yang tidak teratur (disorder) dapat menimbulkan ”abuse” bagi lingkungan kita, terutama udara.

Singgungan tentang transportasi dan lingkungan juga dapat diungkapkan dengan masalah prilaku manusia terhadap lingkungannya. Sebenarnya transportasi sebagai perangkat teknologi yang seharusnya memudahkan manusia menimbulkan dampak berbahaya bagi kesehatan kita. Kandungan-kandungan timah hitam dan SPM dapat mengganggu kesehatan kita secara langsung, dan ini menyebabkan kematian bagi yang menghirupnya, atau penyakit-penyakit yang mematikan. Lalu apakah produksi dari transportasi sebagai alasan pembangunan teknologi dapat dijadikan alasan bagi para pembuat keputusan. Ini yang menjadi perdebatan bagi mereka yang belum memahami bagaimana mengartikan sebuah lingkungan dan teknologi agar berdampingan secara bersamaan tanpa adanya bahaya dan disorder.

Dampak sosial yang ditimbulkan oleh lingkungan transportasi semakin memburuk apalagi kalau kita melihat dari kondisi lingkungan transportasi yang ada di Jakarta. Masalah transportasi yang menjadi permasalahan lingkungan sebenarnya bukan masalah baru lagi. Ketika sebuah kebijakan transportasi dikeluarkan berbagai macam elemen masyarakat mencari dampak sosial dan dampak biologisnya terhadap manusia yang ada disekitarnya. Sebagai contoh, di Jakarta sumber pencemaran udara yang utama adalah kendaraan bermotor dan industri, yang mana kendaraan bermotor menyumbang sekitar 71% pencemar oksida nitrogen (NOX), 15% pencemar oksida sulfur (SO2), dan 70% pencemar partikulat (PM10) terhadap beban emisi total.

            Tampaknya emisi gas dan kandungannya menjadi beban moral bagi pengguna transportasi dan industri transportasi. Permasalahan seperti ini, menjadi fenomena pembangunan, dimana pembangunan transportasi yang diharapkan pemerintah ternyata belum memadai dan masih banyak kekurangan, oleh karena itu, saya sebagai seorang antropolog ekologi mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya dibutuhkan dalam kasus ini. Pada artikel Transportation and Environment yang diedit oleh Wohlwill, Everett dan Altman diterangkan bagaimana dampak sosial transportasi dengan lingkungan yang menimbulkan depresi terhadap masyarakat sekitarnya dari sudut pandang ekologi. Di artikel ini diungkapkan bahwa dampak dari transportasi (dalam konteks ini saya melihat pencemaran udara), bahwa udara yang tercemar akibat transportasi menimbulkan tingkat stress pada manusia yang mengalami gangguan tersebut. Dari perspektif ekologi bahwa prilaku manusia yang beradaptasi dengan proses akan menjadi jenuh apabila adaptasi tersebut dilakukan dengan terus menerus atau sering, sehingga orang yang dalam kehidupan sehari-harinya mengalami gangguan udara dari transportasi dan mengalami kejenuhan dapat menimbulkan stress dan depresi (kajian ini terjadi pada behaviournya). Karena apa yang adaptif dan bukan adaptif bagi mereka cenderung merubah prilaku kolektif dari masyarakat, ini dapat ditunjukkan bahwa tingkat stress di kota-kota besar seperti di Jakarta tingkat stress dan deprese semakin tinggi.

Manusia sebagai faktor yang menentukan keberlanjutannya lingkungan yang ada di sekitar mereka menjadi tidak berdaya, karena pengrusakan lingkungan itu sendiri dilakukan oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung-jawab. Sehingga kejadian-kejadian seperti pencemaran udara tidak terhindarkan oleh lingkungan kita sebagai manusia yang hidup di alam semesta ini.  Bukan hanya itu saja ternyata permasalahan ekologi yang terjadi akibat transportasi ini juga menjadi permasalahan psikologis yang ada pada masyarakat urban. Semakin tinggi tingkat pencemaran udara maka kecenderungan tingkat stress juga akan semakin tinggi. Asumsi tersebut saya gunakan dalam menggambarkan proses dari lingkungan transportasi yang diungkapkan oleh Llewellyn pada artikelnya. 

Bagaimana dampak sosial yang terjadi pada kolektif masyarakat yang ada lingkungan transportasi, artinya ini dapat dikaitkan dengan tingkat kejenuhan seperti kemacetan dan polusi udara yang meningkat. Seharusnya pemerintah memperhatikan sosial impact yang terjadi pada masyarakat akibat dari pencemaran udara ini, karena kebijakan transportasi dan lingkungan diatur oleh pemerintah dibawah departemen-departemen dan juga Pemda DKI Jakarta.  Pemerintah sebagai salah satu aktor yang  berperan dalam pengambilan keputusan dari masalah pencemaran udara, dapat berpengaruh juga pada kegiatan transportasi di Jakarta. apalagi mengenai kebijakan tarnsportasi yang berhubungan dengan lingkungan atau Transportation Environment yang menurut Lynn sebagai suatu penyebab munculnya dampak sosial. Arti dari dampak sosial yang dimaksudkan oleh Lynn adalah transportasi yang tidak teratur (disorder), yang kemudian mengganggu kehidupan manusia. Masalah order dan disorder dari manajemen transportasi suatu kota didukung oleh pemerintah, yang sekarang dibawah Pemda (pemerintah daerah).

Pada saat ini transportasi selalu dijadikan alasan utama bagi pencemaran kota, apakah pencemaran kota yang merusak udara disekitar kita merupakan suatu akibat dari kelalaian dari pemerintah dan produsen kendaraan bermotor yang mendesain kendaraan bermotor belum sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. -sky-

 

 

2 thoughts on “Pencemaran Udara akibat transportasi di Jakarta

  1. ya ini yang paling utama dibutuhkan adalah kesadaran setiap orang di jakarta,rasa cinta terhadap lingkungan yang ditanamkan sejak dini merupakan solusi terbaik untuk masa depn bukan salig berfikir siapa yang paling banyak mengeluarkan polusi,jika setiap orang sudah mempunyai attitude yang baik akan pentingnya lingkungan yang sehat DAN pemikiran yang baik untuk lingkungan disertai tindakan yang bijaksana bukan tidak mungkin polusi akan bisa dikurangi bahkan lebih dari masalah polusi akan dengn mudah ditangani .

Leave a reply to andrisky aprianzal Cancel reply